Semiotik Sosial Yang Terkandung Dalam Tradisi Martahi Karejo Masyarakat Angkola

  • Ilham Sahdi Lubis Institut Pendidikan Tapanuli Selatan
Keywords: Semiotik Sosial, Martahi Karejo, Masyarakat Angkola

Abstract

Pada dasarnya masyarakat Angkola sangat menjunjung tinggi adat pada setiap kali ingin melaksanakan hajatan atau acara adat, di mana apabila ada salah satu dari warga yang ingin melaksanakan horja atau pesta dalam hal ini adalah Suhut, maka seluruh anggota keluarga akan bermusyawarah kepada para pataya-pataya adat atau ketua adat untuk menyampaikan keinginan atau keluhan untuk meminta bantuan kepada ketua adat tersebut agar kiranya disampaikan kepada para warga sekampung. Dalam hal ini, martahi karejo merupakan acara adat yang dilakukan sebelum prosesi upacara perkawinan pada masyarakat Angkola yang dimulai dari musyawarah seperti yang sudah dianalisis di atasyakni berbicara dalam bertutur sapa yang sangat khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalamdalian na tolu yaitu Kahanggi, Anak Boru dan Mora. Konteks situasi yang terlihat pada teks hobar pada tradisi martahi karejo yaitu medan wacana yang terdiri dari Hata ni Suhut, Hata ni Kahanggi, Hata ni Hombar Suhut, Hata ni Anak Boru, Hata ni Pisang raut, Hata ni mora, Hata mangalusi ni Hatobangon, Hata pangalusi ni Harajaon, Hata pangalusi ni orang kaya, Hata pangalusi ni Raja, dan Hatani Pasahat Burangir Taon-Taon. Sementara itu, yang dikategorikan sebagai pelibat wacana dari teks hobar pada tradisi martahi karejo adalah Suhut Si Habolonan, Kahanggi, Anak Boru, Pisang Raut, Na Mora , Hatobangon, Hatarajaon, OrangKaya, dan Raja Pasunan Bulung. Sedangkan yang dikategorikan sebagai sarana wacana dari teks hobar pada tradisi martahi karejo adalah pesan disampaikan secara lisan yaitu dengan cara monolog, berpidato dan berpantun. Makna perangkat adat yang mempunyai arti luas dan mempunyai filsafat bagi masyarakat Angkola khususnya, yakni (1) burangir (sirih), (2) gambir, (3) soda, (4) pining (pinang), (5) timbako (tembakau), (6) pinggan (piring), (7) abit (kain), dan (8) hadangan. Perangkat adat satu sampai lima dikatakan juga pada istilah masyarakat Angkola, yakni empat ganjil lima gonop yang artinya emapat masih terasa ganjil atau janggal maka harus dibuat 5 agar menjadi genap ataupun lengkap.

Downloads

Download data is not yet available.

References

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini. 1999. Prosedur Penilaian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta

Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Paris: editions du seuil.

Danandjaya, J. 1984. Foklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta : Grafiti Pers.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1999. Semantik2, Pemahaman Ilmu Makna.Bandung: PT Eresco.

Eggins, Suzanne. 1994. Introduction to Systemic Functional Linguistics. London: Pinter Pub.

Hajar. Ibnu. 1996. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Haris, Herdiansyah. 2010. Metedolgi Penelitian Kualitatif Untuk ilmu – ilmu Sosial. Jakarta: Salemba humanika.

Halliday, M. A. K. 1978. Language As A Social Semiotics. London: Edward Arnold.

________. M.A.K. Hasan R. 1985. Language, Context, and Text: Aspect of Language in A Social Semaiotic Perspective. London: Oxford University Press.

________. 1994. An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold

Hoed, B.H. 2008. Komunikasi Lisan sebagai dasar Tradisi lisan dalam Metodologi Kajian Tradisi Lisan Editor Pudentia. Jakarta: Asosisasi Tadisi Lisan

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2001. Jakarta: Balai Pustaka.

Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta : Kompas

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Umum Utama
Published
2020-02-13
How to Cite
Lubis, I. (2020, February 13). Semiotik Sosial Yang Terkandung Dalam Tradisi Martahi Karejo Masyarakat Angkola. Vernacular: Linguistics, Literature, Communication and Culture Journal, 1(I), 23-28. https://doi.org/https://doi.org/10.35447/vernacular.v1iI.130